Anda tahu
bagaimana rasanya jatuh?
Sakit?
Orang
bilang jatuh itu sakit.
Well,
sebenarnya ini bukan masalah kata orang, karena sebenarnya saya jarang peduli
dengan apa yang dikatakan orang lain.
Dalam
batas normal, ya, mungkin hampir semua orang mengakui dengan sepenuh hati bahwa
jatuh itu sakit.
Tapi
ternyata tidak.
Bukannya
saya abnormal, tapi jatuh itu memang tidak sakit.
Saya
pernah jatuh secara fisik, dan itu benar – benar buruk.
Ya, saya merasakan sakit. Tapi bukan di saat saya jatuh. Saat jatuh, ternyata saya mati rasa. Sel – sel yang ada di dalam kepala saya tidak sempat memberikan saya kesadaran bahwa jatuh itu membuat saya merasa sakit.
Saat jatuh, saya sadar, tapi sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi pada diri saya. Saya tidak tahu apakah kaki saya bersentuhan dengan pasir, atau batu. Saya juga tidak tahu apakah tangan saya mengayun ke depan atau ke belakang. Saya bahkan tidak mengetahui hal apa yang membuat saya jatuh.
Ya, saya merasakan sakit. Tapi bukan di saat saya jatuh. Saat jatuh, ternyata saya mati rasa. Sel – sel yang ada di dalam kepala saya tidak sempat memberikan saya kesadaran bahwa jatuh itu membuat saya merasa sakit.
Saat jatuh, saya sadar, tapi sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi pada diri saya. Saya tidak tahu apakah kaki saya bersentuhan dengan pasir, atau batu. Saya juga tidak tahu apakah tangan saya mengayun ke depan atau ke belakang. Saya bahkan tidak mengetahui hal apa yang membuat saya jatuh.
Peristiwa “jatuh” itu Cuma terjadi selama sepersekian detik.
Kemudian
detik selanjutnya, saya tersadar. Mencoba beradaptasi dengan keadaan saya yang
baru : terjatuh.
Dan
detik setelahnya, barulah saya rasakan sebagai detik – detik kesakitan. Ribuan,
bahkan jutaan detik kesakitan. Setelah saya sadar, tahu, dan berpikir bahwa
saya telah jatuh dan (mungkin) terluka
Saya juga
pernah jatuh secara psikis, dan itu tidak kalah buruk.
Jatuh secara psikis prosesnya memang tidak secepat jatuh secara fisik, tapi tetap saja, saat jatuh, saya tidak sadar bahwa perlahan tapi pasti, keadaan membuat saya berada semakin di bawah. Setiap menit yang saya lalui, saya rasakan sebagai hal yang biasa. Sebab – sebab jatuh yang kecil, berupa kegagalan maupun kesalahan kecil, tidak terlalu berpengaruh pada diri saya.
Intinya, saya hampir tidak merasakan proses jatuh tersebut. Sampai akhirnya ada suatu sentakan yang membuat saya sadar akan posisi saya yang sebenarnya. Saya sudah berada di bawah. Saya sadar, tahu dan berpikir bahwa saya telah jatuh dan (mungkin) terluka.
Dari sanalah saya mulai merasakan sakit.
Jatuh secara psikis prosesnya memang tidak secepat jatuh secara fisik, tapi tetap saja, saat jatuh, saya tidak sadar bahwa perlahan tapi pasti, keadaan membuat saya berada semakin di bawah. Setiap menit yang saya lalui, saya rasakan sebagai hal yang biasa. Sebab – sebab jatuh yang kecil, berupa kegagalan maupun kesalahan kecil, tidak terlalu berpengaruh pada diri saya.
Intinya, saya hampir tidak merasakan proses jatuh tersebut. Sampai akhirnya ada suatu sentakan yang membuat saya sadar akan posisi saya yang sebenarnya. Saya sudah berada di bawah. Saya sadar, tahu dan berpikir bahwa saya telah jatuh dan (mungkin) terluka.
Dari sanalah saya mulai merasakan sakit.
Saat
saya jatuh secara fisik, saya terjatuh dalam interval waktu yang singkat. Hanya
sepersekian detik. Dan kemudian saya bisa bangkit dengan cukup cepat.
Berbanding
lurus dengan jatuh secara psikis. Jatuhnya perlahan. Maka bangkitnya juga
perlahan. Hingga otak dan jantung saya lelah. Meraka terus bekerja keras.
Merasakan sakit, sambil berusaha keras untuk mengembalikan keadaan saya seperti
semula, seperti sebelum terjatuh.
Ya.
Jatuh itu memang tidak sakit.
Sakit
adalah setelahnya, saat anda tahu dan sadar. Saat anda berpikir. Saat anda
meratapi peristiwa lalu saat anda terjatuh.
Sakit
itu sebenarnya berasal dari diri sendiri. Dari dalam pikiran dan cara berpikir.
Jatuh
adalah takdir. Sementara sakit adalah pilihan.
You get it?
You get it?
No comments:
Post a Comment