Nov 30, 2012

Weird

I know, I'm strong enough to keep my tears not streaming down on my face.
I know, I'm not that weak.
I do know, I'm rarely or I'd never want to cry.
For a suckin thing named love.
But words made me did it.

Weird,
There was  a pair of clear fluids flowin on my face.
When I read on, the second line of this :


AKU MASIH SAMA
by : a man

Sepertinya aku terlalu menginginkannya
Hingga kubiarkan egoku melukainya


Entahlah..
Aku masih sama.
Berharap secercah rasa menjadi bermakna.
Yah. Walau aku layaknya angin penyeling harinya
Namun yang kupunya tulus adanya.

Entah luka apa lagi yang mungkin datang
Aku masih akan mencintainya
Tak surut dan selalu pasang
Dengan rasa yang hampir merajut asa

Kini aku bercakap pada hati
Berjanji tuk tak lelah menanti
Walau nanti kudapati luka dari apa yang terjadi
Walau nanti kenyataan tak seindah fantasi
Untukku dan cinta dalam hati

Tetaplah wajah ini ceria
Memasang senyum bahagia
Meski di dalam tertahan air mata
Atas namanya dan kenangan yang ada


Nov 15, 2012

Jatuh


Anda tahu bagaimana rasanya jatuh?
Sakit? 
Orang bilang jatuh itu sakit.
Well, sebenarnya ini bukan masalah kata orang, karena sebenarnya saya jarang peduli dengan apa yang dikatakan orang lain.

Dalam batas normal, ya, mungkin hampir semua orang mengakui dengan sepenuh hati bahwa jatuh itu sakit.
Tapi ternyata tidak.
Bukannya saya abnormal, tapi jatuh itu memang tidak sakit.

Saya pernah jatuh secara fisik, dan itu benar – benar buruk. 
Ya, saya merasakan sakit. Tapi bukan di saat saya jatuh. Saat jatuh, ternyata saya mati rasa. Sel – sel yang ada di dalam kepala saya tidak sempat memberikan saya kesadaran bahwa jatuh itu membuat saya merasa sakit.
Saat jatuh, saya sadar, tapi sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi pada diri saya. Saya tidak tahu apakah kaki saya bersentuhan dengan pasir, atau batu. Saya juga tidak tahu apakah tangan saya mengayun ke depan atau ke belakang. Saya bahkan tidak mengetahui hal apa yang membuat saya jatuh.

Peristiwa “jatuh” itu Cuma terjadi selama sepersekian detik.
Kemudian detik selanjutnya, saya tersadar. Mencoba beradaptasi dengan keadaan saya yang baru : terjatuh.
Dan detik setelahnya, barulah saya rasakan sebagai detik – detik kesakitan. Ribuan, bahkan jutaan detik kesakitan. Setelah saya sadar, tahu, dan berpikir bahwa saya telah jatuh dan (mungkin) terluka  

Saya juga pernah jatuh secara psikis, dan itu tidak kalah buruk
Jatuh secara psikis prosesnya memang tidak secepat  jatuh secara fisik, tapi tetap saja, saat jatuh, saya tidak sadar bahwa perlahan tapi pasti, keadaan membuat saya berada semakin di bawah. Setiap menit yang saya lalui, saya rasakan sebagai hal yang biasa. Sebab – sebab jatuh yang kecil, berupa kegagalan maupun kesalahan kecil, tidak terlalu berpengaruh pada diri saya. 
Intinya, saya hampir tidak merasakan proses jatuh tersebut. Sampai akhirnya ada suatu sentakan yang membuat saya sadar akan posisi saya yang sebenarnya. Saya sudah berada di bawah. Saya sadar, tahu dan berpikir bahwa saya telah jatuh dan (mungkin) terluka.
Dari sanalah saya mulai merasakan sakit. 

Saat saya jatuh secara fisik, saya terjatuh dalam interval waktu yang singkat. Hanya sepersekian detik. Dan kemudian saya bisa bangkit dengan cukup cepat.

Berbanding lurus dengan jatuh secara psikis. Jatuhnya perlahan. Maka bangkitnya juga perlahan. Hingga otak dan jantung saya lelah. Meraka terus bekerja keras. Merasakan sakit, sambil berusaha keras untuk mengembalikan keadaan saya seperti semula, seperti sebelum terjatuh.

Ya. Jatuh itu memang tidak sakit.
Sakit adalah setelahnya, saat anda tahu dan sadar. Saat anda berpikir. Saat anda meratapi peristiwa lalu saat anda terjatuh.
Sakit itu sebenarnya berasal dari diri sendiri. Dari dalam pikiran dan cara berpikir.
Jatuh adalah takdir. Sementara sakit adalah pilihan.
You get it?